Roda melaju mengikuti arah angin. Menyusuri indahnya bumi parahiyangan, yang legendanya bumi para sang hiyang, para dewa.
Kususuri jalan ini sendiri, nikmati indahnya bentangan sendiri, ingin rasanya ku ajak seseorang untuk menyaksikan bersama, berdiskusi bersama tentang kegundahanku melihat kemerosotan yang nyata.
Tapi entahlah siapa yang mau mendengarkan keluhanku ini selain alam itu sendiri?
Sejuknya alam seolah mendekap tubuh ini, dinginya menusuk sampai ke sumsum tulang.
Kabut selimuti gunung-gunung yang berderet seperti benteng pertahanan, melindungi kota dari serangkaian serangan musuh yang berjalan dengan perutnya.
Tapi kokohnya benteng itu bisa terkikis oleh kekuasaan yang semakin hari semakin rakus.
miris ku menyaksikan tarik ulur antara pemerataan pembangunan dengan keperawanan alam.
Nyanyian merdu dari burung-burung yang tulus dalam kehidupan berlomba dengan bisingnya laju kendaraan dan suara eskafator yang bergerak cepat untuk meruntuhkan tegaknya tembok bukit dan pohon-pohon itu.
Gemercik derasnya air sungai, terdengar samar. Kebeningannya pun kini pudar, ya menjadi tersendat, seakan-akan ikan-ikan harus berbagi tempat tinggalnya bersama sampah-sampah yang bau.
Bisakah para orang-orang terhormat melakukan moderisasi dengan tetap mengayomi alam?
tetap memperhatikan keagungan ciptaan sang Maha tanpa menganiaya?
Bisakah manusia-manusia itu menjaga apa yang mestinya mereka jaga?
Bukanlah keegoan ato keakuan yang kan membuat disegani,
tapi kearifan yang memiliki arti.
apalah arti manusia jika alam ini rusak?
kita hanya bagian kecil, sangat kecil dari semesta ini.
tidak hanya manusia, alam pun memerlukan eksistensi kurasa.
Kususuri jalan ini sendiri, nikmati indahnya bentangan sendiri, ingin rasanya ku ajak seseorang untuk menyaksikan bersama, berdiskusi bersama tentang kegundahanku melihat kemerosotan yang nyata.
Tapi entahlah siapa yang mau mendengarkan keluhanku ini selain alam itu sendiri?
Sejuknya alam seolah mendekap tubuh ini, dinginya menusuk sampai ke sumsum tulang.
Kabut selimuti gunung-gunung yang berderet seperti benteng pertahanan, melindungi kota dari serangkaian serangan musuh yang berjalan dengan perutnya.
Tapi kokohnya benteng itu bisa terkikis oleh kekuasaan yang semakin hari semakin rakus.
miris ku menyaksikan tarik ulur antara pemerataan pembangunan dengan keperawanan alam.
Nyanyian merdu dari burung-burung yang tulus dalam kehidupan berlomba dengan bisingnya laju kendaraan dan suara eskafator yang bergerak cepat untuk meruntuhkan tegaknya tembok bukit dan pohon-pohon itu.
Gemercik derasnya air sungai, terdengar samar. Kebeningannya pun kini pudar, ya menjadi tersendat, seakan-akan ikan-ikan harus berbagi tempat tinggalnya bersama sampah-sampah yang bau.
Bisakah para orang-orang terhormat melakukan moderisasi dengan tetap mengayomi alam?
tetap memperhatikan keagungan ciptaan sang Maha tanpa menganiaya?
Bisakah manusia-manusia itu menjaga apa yang mestinya mereka jaga?
Bukanlah keegoan ato keakuan yang kan membuat disegani,
tapi kearifan yang memiliki arti.
apalah arti manusia jika alam ini rusak?
kita hanya bagian kecil, sangat kecil dari semesta ini.
tidak hanya manusia, alam pun memerlukan eksistensi kurasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar